>>> Menuju 70, Mengungkap Sebuah Tabir Dari Timur!!!
Kei atau juga disebut Kai yang tercantum dalam peta nasional pun peta dunia, merupakan wilayah gugusan kepulauan yang berada dalam kawasan Indonesia Timur.
Pulau kei terdiri dari kei kecil dan kei besar yang diapit oleh puluhan pulau-pulau kecil lainnya (mereka juga kei), yang hampir semuanya berpenghuni dan dihuni oleh masyarakat kei. Pulau ini secara tata adminstratif geografis NKRI berada dalam kesatuan hukum Provinsi Maluku bersama Tanimbar dan Dobo. Dua wilayah disebutkan merupakan dua kabupaten baru yang telah memekarkan diri dari Pulau Kei yang dulunya disebut sebagai Kabupaten Maluku Tenggara dengan Ibu kotanya Tual.
Kini, Kota Tual pun telah dimekarkan menjadi Kotamadya Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara (Malra) telah dipindahkan dan beribukota di Langgur. Dua kawasan ini, Kota Tual dan Kabupaten Malra, tepatnya berada di wilayah Pulau Kei Kecil. Sementara Pulau Kei Besar masuk dalam cakupan otonomi Kabupaten Langgur. Pulau Kei besar sendiri saat ini terbagi dalam beberapa Kecamatan dan diperkirakan pada beberapa tahun mendatang kei besar akan dimekarkan menjadi kabupaten baru.
Walau terdiri dari dua pusat administratif sebagai Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara, Pulau Kei Kecil dan Kei besar, secara kepulauan lebih dikenal sebagai Pulau Kei dan masyarakatnya disebut sebagai Orang Kei. Dalam bahasa gaul, biasanya diistilahkan dengan sebutan Turki yang berarti Turunan Kei. Selain di pulau kei, masyarakat dari Turki (Turunan Kei)
menyebar hampir di seluruh pelosok nusantara dan terbanyak berada di papua sejak 1920-an, bahkan jauh sebelum tahun itu.
Sementara itu, Provinsi Maluku ibukotanya Ambon. Ambon sedari jaman prasejarah (invasi rempah-rempah oleh Portugis dan belanda), sejarah (jong java), orde baru (ambon manise) hingga awal reformasi (konflik agama) dan otonomi (terpisahnya ternate menjadi provinsi baru) mudah, gampang dan sangat dikenal oleh seluruh masyarakat negeri ini, bahkan hingga ke Holland (disana ada kampung ambon). Mollucas, Pela gandong, hitam manis, acang obeth, bika ambon dan pisang ambon hingga januarinya Glenn Fredly adalah bukti bahwa semua mengenal dan mengetahui bahwa Ambon itu terkenal dan dikenal dan ada dalam sejarah.
Itu ambong nyong, la pulau kei itu akang ada dimana sio? Tuangalah, beta seng tau bu. Coba bu batanya akang par basudara dorang di papua jua, siapa tau dong tau akang ada dimana?!.
Dibandingkan dengan pulau Kei, Ambon sangat terkenal. Bahkan hingga 1990-an, Pulau Kei tidak tertera dalam buku atlas. Ini pengalaman saat masih sekolah dulu. Jangankan di peta, tahun 2000-an, teman-teman penulis di jawa sana juga baru nyadar bahwa ada Orang Kei di republik ini. Parahnya, mereka pada bertanya dan membuat terkaan, Kei ada di Irian Jaya (Papua). Seorang dosen pernah bertanya, disana ada mobil gak?! SIALAN, Pulau Jawa, hingga selokan-selokan disana pun saat masih SD hingga SMK, pelajar di kei hafal dan bisa membedahkan cianjur ada dimana, Salatiga ada dimana dan madura itu ada di Jawa Timur. capeh-capeh belajar tentang mereka, sedikitpun mereka tidak memahami bahwa masyarakat kei juga NKRI.
Keadaan dan kenyataan ini Secara tidak langsung membuat kei semakin terpuruk dan hampir tidak terniang dalam ingatan Orang-orang Jawa, apalagi mereka yang berada jauh dari kota-kota besar di jawa. Ini realitas yang lucu, namun kenyataanya memang demikian. Kita legowo menerimanya karena dalam hal ini, tidak ada yang bisa disalahkan.
Pada intihnya, Ambon lebih dikenal dibandingkan dengan Kei. Semua yang berasal dari provinsi maluku disebut sebagai orang/nyong/nona/om/tanta Ambon. Hal ini tidak bisa disalahkan bahwa referensi zaman lebih memperkenalkan sesuatu yang besar, sesatu yang lebih disentuh oleh sejarah dan ilmu pengetahuan, sesuatu yang kadang lebih dikenang dan mudah di ingat. Sesuatu yang kadang mengalami pengulangan dan memiliki keterwakilan yang sempit terhadap pemahaman pengetahuan sejarah dan ilmu pengetahuan lainnya. waktu ini berlaku cukup lama dengan stempel dan legalitas ini. Tidak ada kei, yang ada hanya ambon. Orang kei secara umum disebut Ambon. Hal ini sebenarnya bukan hanya dialami oleh Masyarakat Kei. Orang Dobo, tanimbar dan wilayah-wilayah sekitarnya pun mengalami hal yang sama. Untuk mempermudahnya kadang penyebutan hanya berlaku umum yaitu Kami orang Maluku. Kei letaknya disini, dobo disana dan tanimbar ada diujung Provinsi Maluku. hal ini kemudian dipahami oleh banyak orang saat ada penjelasan seperti ini, penjelasan yang lebih detail terkait hal ini.
Konteks ini sebenarnya secara aktual bukan hanya dialami oleh kei dan ambon. Eropa secara keseluruhan terkadang dibilang bule, Timur tengah secara umum dulunya disebut Arab. Orang tidak mengenal pakistan, mereka lebih mengenal India, selalu ada yang bilang itu orang China tapi ternyata bukan. Bisa saja taiwan, hongkong atau korea. Bahkan orang jawa secara umum disebut jawa padahal disana juga ada orang sunda yang kadang tidak ingin dibilang sunda. Di Papua Bumi Cendrawasih juga mengalaminya. Walau demikian, yang membuat bedah untuk kasus kei-ambon adalah kei benar-benar tidak diketahui sama sekali. Baik wilayahnya, ada di Provinsi mana, Apa saja yang ada disana, masih primitif atau cenderung menjadi modern, hingga disana apakah ada kendaraan? dan puluhan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Tidak ada yang salah dalam hal ini, namun kemudian muncul sebuah paradigma baru yang mulai diperkenalkan oleh kalangan pelajar (mahasiswa) kei yang melakukan pendidikan di Pulau Jawa. Ada semacam sentimen kedaerahan yang dituangkan dalam semangat nasionalisme tradisional/Daerah. Serempak tanpa ada komando hal ini muncul seperti sebuah penyuaraan bersama untuk menyatakan bahwa Saya Kei, Bukan Ambon tapi bersama Kami adalah MALUKU.
Tahun 2000-an Ronald Kei, Riko Kei, Oger Kei, Astho Kei dan Anak-anak Kei dibandung mulai menggunakan KEI pada sebutan nama akhir. Pemakaian Kei saat itu sama sekali tidak memiliki hubungan dengan Jhon Kei (JK). Penambahan kata Kei secara tidak langsung membuat banyak orang bertanya (masih sebatas lingkup mahasiswa dan masyarakat sekitar) Kei itu apa? Banyak yang menggangap bahwa Kei merupakan nama Marga/Fam seperti Sijabat, Situmorang, Silalahinya orang Batak. Hal ini secara tidak langsung ikut membantu memberikan penjelasan kepada teman-teman dan kenalan-kenalan mereka tentang arti Kei yang sesungguhnya. Hal ini juga sebenarnya berlaku di hampir semua daerah dimana anak-anak kei kuliah. Misalnya di Jogja mulai dibentuk Ikatan Mahasiswa Kei dan di Surabaya memboming lewat kelompok-kelompok dance yang kala itu sempat jadi pusat perhatian karena diselenggarakan oleh salah satu station televisi nasional. Versi dan cara-caranya bisa saja berbeda. Namun semua mulai bergerak maju lewat cara-cara yang bisa dilakukan. Sebenarnya, jauh sebelum itu, para sesepuh dan senior hingga masyarakat Kei yang tinggal di Jawa dan sekitarnya sudah dulu melakukan hal ini. Tujuannya hanya satu, hanya ingin menyatakan bahwa Pulau dan Masyarakat Kei itu ada, Kami ada di Maluku dan kami berbeda dengan orang Ambon, walau rumpun kami bisa saja satu yaitu ras melansesia pasifik.
Tahun 2000-an pula, merupakan tahun dimana Pulau Kei mulai dikenal banyak orang, terutama di Jawa, kalimantan dan sumatra. Banyak cara, cerita hingga kutipan lain mulai menyatakan bahwa ternyata Kei adalah Kabupaten Maluku Tenggara yang juga memiliki pesona alam yang sangat indah. Dengan berbagai versi kemunculan yang ada, harus diakui bahwa peran dan determinasi Bung JHON KEI (JK)di Jakarta merupakan puncak titik balik realitas ini. Ketika pemberitaan lewat media yang memunculkan sepak terjangnya, hampir seluruh media masa nasional (tv, koran, surat kabar dll) berlomba-lomba menampilkan historis Bung JhOn JK yang notabenehnya berasal dari Pulau Kei, Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Serempak, Kei pun ikut tersohor walau mungkin imagenya berbeda. Namun sebagai orang Kei, diakui hal ini ikut berperan dan peranya sangat dominan dalam alur tulisan ini bahwa Kei mulai ramai dibicarakan dan diketahui banyak orang. Ternyata Kei itu bukan Ambon tapi Kei dan ambon bersama di Maluku.
Uniknya, efek ini secara tidak langsung juga sangat berpengaruh pada penulis dan rekan-rekan di bandung kala itu, yang menggunakan nama Kei dibelakang. Ketika masih kuliah (penulis) juga seorang penyiar. Banyak sms masuk yang selalu mempertanyakan kaitan antara penyiar (Ronald Kei: penulis) dengan Jhon Kei. Hubunganya apa? Masih saudaraan ya? Nama akhirnya sama? Satu daerah ya? Apa bedahnya kei kecil dan kei besar? Kamu kei kecil atau kei besar? Dan bla bla bla. Pulau kecil, jauh, terpencil, jarang disentuh kini menjadi nasionalis.
Selain JK, ada juga Umar Kei, Ali Mochtar Ngabalin, Alex Retraubun, Edison Betaubun, Kunjungan Trans 7 ke Desa Ohoider (Tabob Story), Trans TV ke Pasir Panjang (pasir putih halus no 1 di dunia) ikut membantu mempublikasikan keberadaaan Pulau Kei. Disamping yang tertera diatas, banyak juga yang lain dari berbagai tayangan dan pemberitaaan, baik secara personal pun kelompok, baik swasta pun pemerintah, diundang maupun tidak diundang secara beramai turut serta mempublikasikan pulai Kei ke seantero Nusantara. Lewat catatan-catatan, cerita dan narasi yang dipubliskan, apapun bentuknya baik melalui pemberitaan media dan cara-cara publikasi lain yang telah dilakukan, apa pun muatanya, alhasil sebutan Kei semakin Familiar di negeri ini.
Masa-masa itu kini perlahan telah berlalu dan hilang. Semua orang mulai memahami perbedaan antara Pulau Kei dan Kotamadya Ambon. Orang Kei mampu dan berhasil menyatakan keberadaanya. Historis ini begitu mengagumkan, karena merupakan hal kecil diantara hal besar lainnya yang turut memberi sumbangsih pada pengenalan dan pengakuan banyak orang akan atribut kedaerahan sebagai anak Kei dan hal ini benar-benar berhasil.
Apapun itu, Kei, Ambon, Halmahera, Masohi, Tanimbar, Dobo, Banda dan lainnya adalah bagian dari keluarga besar bermarga dan beragama maluku. Maluku secara keseluruhan pernah menjadi hitam dalam catatan negeri ini karena persoalan kemanusiaan yang pernah memerahinya. Namun kini maluku bangkit dari ujung Halmahera hingga Tenggara Jauh. Semangat persaudaraan dalam adat Pela Gandong perlahan kembali mengikat dan menyentuh perbedaan-perbedaan yang ada. Kita pernah merah, namun bukankah semua di negeri ini juga memiliki cerita merah yang berbeda beda? Orang maluku selalu bangga menjadi maluku. Tanpa harus melihat kebelakang.
Saatnya memulai era baru dalam semangat membangun maluku tanpa harus berbisik Beta Kei, Beta Ambon, Beta Masohi Atau Beta Tanimbar. Katong samua basudara. Nyanyikan terus kidung-kidung bangun maluku diiringi tipa suling dan terompet bia bangun kembali bumi patimura karea Beta Kei, bukan Ambon tapi bersama Katorang MALUKU Bung.
Semoga bermanfaat! .....................
Dari Bumi Cendrawasih untuk nyanyian sio Maluku di Masohi, tarian adat Sosoi Evav di Pulau Kei dan Gong Perdamaian di Kota Ambon. Untuk seorang Sahabat!!!